Tidak selang beberapa lama setelah melakukan mitigasi terhadap wabah COVID-19, seperti menutup jalur penerbangan dan menutup sekolah-sekolah, pemerintah Afrika Selatan melakukan langkah berani dengan menerapkan kebijakan lockdown atau karantina nasional pada tanggal 27 Maret 2020.
Kebijakan ini di terapkan setelah muncul 402 kasus dan terus berlipat ganda setiap 2 hari.
Meskipun jumlah penduduk nya hanya 0.7% dari pupulasi dunia, Afrika Selatan merupakan rumah dari 20% (7.7 s/d 7.9 Juta orang) beban global infeksi HIV dan termasuk di antara negara-negara terdampak TB terparah di dunia, dengan tingkat co-infection HIV-TB sebesar 59%, atau peringkat ke 4 tertinggi di dunia.
Namun langkah yang bertujuan untuk menekan penyebaran virus dengan membatasi pergerakan dan interaksi orang ini memiliki konsekuensi yang tidak di inginkan terhadap penyediaan layanan kesehatan umum, terutama pencegahan dan pengobatan Tuberculosis (TB) dan HIV.
Sumber daya utama di Afrika yang beberapa dekade ini telah dikembangkan secara luas untuk pengendalian HIV dan TB ini kini di alihkan untuk penanganan COVID-19.
Sumber daya ini meliputi platform diagnostik, program penjangkauan masyarakat, dan fasilitas-fasilitas penelitian.
Walaupun demikian, respon terhadap COVID-19 ini juga berpotensi meningkatkan pengendalian HIV dan TB.
Afrika Selatan merupakan salah satu negara yang masuk ke dalam peringkat negara-negara paling parah terkena dampak penyakit dunia. Epidemi COVID-19 di negara ini juga terjadi dengan latar belakang epidemi HIV dan TB yang sudah berlangsung lama.
Meskipun jumlah penduduk nya hanya 0.7% dari pupulasi dunia, Afrika Selatan merupakan rumah dari 20% (7.7 s/d 7.9 Juta orang) beban global infeksi HIV dan termasuk di antara negara-negara terdampak TB terparah di dunia, dengan tingkat co-infection HIV-TB sebesar 59%, atau peringkat ke 4 tertinggi di dunia.
Dalam pengendalian ke dua penyakit ini, Afrika Selatan telah membuat kemajuan yang stabil sejak tahun 2010.
Peningkatan akses terhadap obat antiretroviral untuk pengobatan dan untuk pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi telah berhasil mengurangi tingkat kematian terkait AIDS sebanyak 33% dalam rentang waktu antara tahun 2010 s/d tahun 2018.
Demikian juga tehadap tingkat kematian terhadap kasus TB, telah menurun dari 224 per 100.000 populasi pada tahun 2010 menjadi 110 per 100.000 populasi pada tahun 2018.
Jadi, bisa saja strategi yang di terapkan untuk mitigasi COVID-19 ini, terutama kebijakan lockdown skala nasional secara tidak sengaja menekan peningkatan HIV dan TB juga.
Kunci untuk memulai pengobatan dan pemantauan pengendalian HIV dan TB adalah test HIV & TB Polymerase Chain Reaction (PCR). Masalahnya, tes diagnostik ini menurun selama masa lockdown. Penurunan harian pada test TB GeneXpert rata-rata menurun sebesar 59% - test GeneXpert adalah test berbasisi Cartridge yang mampu mendiagnosis TB dalam waktu 2 jam dan secara bersamaan menguji resistensi obat - disertai penurunan diagnosis TB paru sebesar 33%.
Pembatasan terhadap pergerakan manusia dan pembatasan transportasi umum berdampak pada penurunan substansial dalam kehadiran pasien di fasilitas kesehatan.
Hasil sebuah survei yang dilakukan terhadap 339 orang di Afrika Selatan menunjukan 57% merasa khawatir mengunjungi klinik atau rumah sakit selama masa lockdown, sebagian merasa takut terinfeksi COVID-19 dari pasien COVID-19 yang menghadiri fasilitas tersebut.
Tertundanya Test TB dan HIV ini menghambat inisiasi pengobatan yang tepat dan berpotensi meningkatkan resiko infeksi baru dan resistensi obat.
Test GeneXpert yang secara luas digunakan di Afrika Selatan untuk mendiagnosis TB, dengan lebih dari 2 juta orang di test setiap tahunnya, juga digunakan untuk mendiagnosis COVID-19.
Sampai saat ini, dengan keterbatasan Cartridge GeneXpert COVID-19 bisa berarti bahwa ada penggunaan cadangan Cartridge GeneXpert yang digunakan (jika ada), yang artinya terjadi perpindahan pengujian TB.
Disisi lain terjadi juga penurunan pada test CD4+ (untuk menguji status kekebalan pada pada pasien HIV), hal ini menunjukan terjadinya penurunan permintaan bukan perpindahan karena test ini tidak di gunakan untuk COVID-19.
Laboratorium klinis Afrika Selatan memiliki kapasitas yang besar untuk melakukan Test PCR HIV tingkat tinggi, yaitu bisa mencapai lebih dari 50.000 test per hari.
Hal ini menunjukan bahwa Afrika Selatan memiliki kapasitas cadangan yang mencukupi untuk pengujian COVID-19.
WHO memperkirakan bahwa gangguan terapi antiretroviral selama 6 bulan dapat menyebabkan lebih dari 500.000 kematian tambahan karena penyakit terkait AIDS pada tahun 2021. Hal ini juga dapat mebalik kan keuntungan yang sudah di peroleh dalam pencegahan penularan dari ibu ke anak.
Potensi penuh kapasitas PCR ini bisa saja digunakan saat negara harus memperluas pengujian PCR COVID-19 saat terjadi lonjakan kasus pada puncak pandemi yang diperkirakan mencapai lebih dari 1 juta kasus.
Kapasitas laboratorium pengujian PCR yang dikembangkan untuk HIV dan TB kini menjadi sumber penting untuk pengujian COVID-19. Namun penggunaan kapasitas ini untuk COVID-19 perlu di pantau untuk mengidentifikasi dan mengatasi kemungkinan perpindahan test HIV dan TB.
Pengalaman Afrika Selatan dalam menangani epidemi HIV dan TB menjadi dasar respon awal dan cepat berbasis masyarakat di negara tersebut.
Baik TB maupun COVID-19 adalah infeksi yang menyerang pernafasan sehingga keduanya dapat memiliki gejala yang sama. Ini menjadi tantangan dalam pengendalian infeksi yang substansial, diperlukan diagnosis yang tepat dalam waktu yang cepat.
Kedua penyakit ini lebih mudah menyebar dalam kondisi yang terkait dengan kemiskinan dimana kebijakan Social Distancing sulit untuk di terapkan.
Kemampuan penjangkauan komunitas yang baik dalam penelusuran kontak terkait TB ini bisa di gunakan secara maksimal untuk melakukan pelacakan kontak (tracing) dan pemantauan karantina untuk COVID-19
Dengan beban HIV tertinggi di dunia, Afrika Selatan memiliki jaringan penyedia layanan kesehatan yang sangat maju yang mencakup puluhan ribu pekerja perawatan kesehatan masyarakat yang terlatih untuk berinteraksi secara aman dengan orang-orang yang terinfeksi dan memiliki pengalaman dalam melakukan kunjungan dari rumah ke rumah di komunitas yang paling rentan secara sosial.
Sekitar 28.000 komunitas layanan kesehatan HIV di kerahkan untuk skrining gejala COVID-19 dan rujukan pengujian pada 993 komunitas padat dan rentan, serta kekurangan air mengalir, untuk mengidektifikasi kasus. Dengan demikian dapat mengurangi waktu proses diagnosis sehingga bisa membatasi transmisi.
Keterlibatan masyarakat maupun akses terhadap masyarakat yang sudah mapan dalam penanganan HIV, TB, dan penyakit tidak menular memberikan peluang untuk mengintergrasikan skrining dan pengujian dalam merespon COVID-19 untuk jangka panjang.
Layanan terintegrasi ini berpotensi memberikan pendekatan penting untuk menyeimbangkan kewaspadaan berkelanjutan terhadap COVID-19, HIV, dan TB dengan deteksi dini berbasis masyarakat.
Akses ke perawtan medis untuk kondisi non COVID-19 terbatas selama lockdown, fasilitas kesehatan juga mengalami penurunan jumlah pasien TB dan HIV yang harus meminum obat sesuai jadwal.
WHO memperkirakan bahwa gangguan terapi antiretroviral selama 6 bulan dapat menyebabkan lebih dari 500.000 kematian tambahan karena penyakit terkait AIDS pada tahun 2021. Hal ini juga dapat mebalik kan keuntungan yang sudah di peroleh dalam pencegahan penularan dari ibu ke anak.
Sebanyak 1.090 pasien TB dan 10.950 pasien HIV sebuah provinsi di Afrika Selatan belum mengabil obat sesuai jadwal sejak di mulainya lockdown.
Sebuah survei nasional yang dilakukan terhadap 19.330 orang di Afrika Selatan menunjukan bahwa 13.2% pengobatan mereka untuk penyakit kronis tidak dapat di akses selama lockdown.
Respon Afrika Selatan terhadap COVID-19, terutama lockdown, telah menyebabkan kesulitan ekonomi yang substansial, terutama pada masyarakat miskin dan rentan. Efek lockdown terhadap ekonomi, termasuk penurunan pajak, juga cenderung berdampak negatif pada pendanaan untuk program HIV dan TB.
Penelitian baru dan berkelanjutan tentang pencegahan dan pengobatan HIV dan TB telah sangat terpengaruh oleh epidemi COVID-19. Pada saat dimulainya lockdown di Afrika Selatan, Komite Etika Penelitian Kesehatan Nasional menghentikan semua penelitian medis, termasuk uji klinis.
Kemajuan penelitian pada kedua kondisi ini juga melambat karena beberapa peneliti AIDS dan TB di negara itu mengarahkan kembali upaya mereka ke COVID-19. Namun, upaya penelitian COVID-19 telah meningkatkan kolaborasi dan menciptakan pendekatan baru untuk mempercepat pengembangan dan pengujian terapi dan vaksin, yang kemungkinan akan memiliki manfaat jangka panjang untuk penelitian medis di luar COVID-19.
Beberapa negara di Afrika memiliki infrastruktur uji coba klinis HIV dan TB yang berkembang dengan baik yang dapat berkontribusi pada uji coba vaksin COVID-19. Investasi masa lalu dalam pelatihan dan penelitian penyakit menular telah menghasilkan hasil yang bagus untuk tanggapan COVID-19, menyoroti pentingnya mempertahankan investasi ini di masa depan.
Sumber : Sciencemag.org
Comments
Post a Comment