Skip to main content

Hutan Musim dan Hutan Gambut


A. Hutan Musim

Didaerah tropis basah terdapat sejumlah besar hutan dengan satu atau dua musim kering yang sangat nyata (musim kering biasanya diberi batasan sebagai massa paling sedikit satu bulan dengan curah hujan kurang dari 100 mm). 


Ditempat ini hutannya tidak begitu subur, komposisinya terdiri dari hutan meranggas dan tidak meranggas (hijau abadi). Selama musim kering, banyak dari daun pepohonan luruh.

Tingkat peranggasan dalam musim kering tergantung pada kekeringan dan lamanya musim kering. 

Secara ekologi, hutan tropis berirama musiman. Hutan ini terutama terjadi karena sifat curah hujan musiman (biasanya hujan muson) dan jumlah total curah hujan yang nisbi lebih sedikit. Pada umumnya, hutan ranggas tropis ditemukan pada pinggiran hutan hujan tropis di Afrika, Madagaskar, Indonesia, Amerika tengah dan Selatan, tetapi hutan ini termasuk juga hutan yang dideskripsi sebagai hutan muson yang ditemukan di India, Myanmar, Indocina dan Australia bagian utara.


Jenis hutan ini mempunyai curah hujan berlimpah selama musim hujan yang berseling dengan masa kekeringan yang jelas dapat berlangsung selama kira-kira empat sampai enam bulan. 

Pada umumnya, jumlah seluruh curah hujan hutan musim lebih rendah dibandingkan dengan hutan hujan tropis dan berubah-ubah antara 1000 s/d 2000 mm/tahun. Secara rata-rata variasi suhu tidak banyak berbeda dari variasi suhu daerah hutan hujan tropis, tetapi terdapat keragaman musiman maupun harian yang lebih menonjol dalam suhu. Musim hujan jelas mempunyai suhu lebih rendah dari musim kering. 

1. Hutan Musim Bawah

Hutan musim bawah umumnya beriklim tipe C dan D menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson. Hutan ini mengalami gugur daun atau meranggas selama musim kemarau. 

Terdapat paling tidak dua lapisan tajuk, banyak herba dan tumbuhan bawah yang hidup menyesuaikan dengan kondisi kekeringan atau musim. Hutan musim bawah terdapat secara mosaik diantara hutan hujan. Penyebarannya banyak dipengaruhi oleh sifat khusus dari keadaan topografi (oro-topografik) daerah yang bersangkutan. 

Hutan ini merupakan tipe vegetasi klimaks yang mencerminkan pengaruh masa kering yang berlangsung antara tiga hingga sembilan bulan setiap tahunnya. Pada bulan kering tersebut, penguapan terjadi melebihi curah hujan. 

Tanah didaerah ini kurang mengalami pencucian (bleaching), mineral hara tidak tercuci, kadar humus rendah. Tanah mengering hingga kedalaman sangat jauh didalam tanah. 

Akibatnya secara umum tumbuhan memiliki perakaran sangat dalam. Hutan musim bawah bersifat hutan campuran, terdiri dari pohon dan semak serta terna yang toleran terhadap cahaya. Hutan ini berbeda komposisi floristiknya, umumnya memiliki tajuk (25-30m) dengan beberapa pohon raksasa seperti salmalia

Dihutan ini banyak dijumpai geofit, yakni spesies yang tahan api karena berbatang atau berumbi dibawah tanah, dan efimeral, karena spesies ini tumbuh dan berbunga dalam waktu singkat pada musim hujan, kemudian biji terlindungi didalam tanah untuk kemudian tumbuh pada musim basah tahun berikutnya. 

Epifit jarang ditemukan didaerah ini. Epifit menghendaki daerah dengan kelembaban tinggi. Spesies seperti gleicheina, Hymenophyllaceae dan Nepenthes, dan liana jarang atau sama sekali tidak ditemukan. Selain itu hutan musim bawah miskin spesies endemik. Spesies khas diwilayah ini antara lain : tectona grandis, tamarindus indica, aegle marmelos, zizypus mauritiana, azadirachta indica, acacia leucophloa, borrasus flabellifer, pterospermum diversitifolium, cassia fistula, dalbergia latifolia, dan lagerstroemia.sp

Diantara terna banyak ditemukan anggota poaceae, cyperaceae, fabaceae, mimosaceae, rhamnaceae, convolvulaceae, curcuma, turrarea pubescens, goodewia horingsbergeri, helicteres angustifolia, pentopetes phoeniceae, blepharis spp, athroisma lacianatum, glinus lotoides, barleria yang hidup terbatas pada hutan musim. 

Kenyataan bahwa hutan musim sangat peka terhadap kebakaran, komposisi penyusun hutan tersebut setelah terbakar tidak pernah serupa dengan komposisi hutan sebelum terbakar. Selain itu sebagai akibat kepekaannya terhadap api, hutan musim biasanya dapat berubah menjadi masyarakat tumbuhan dengan satu spesies dominan (pyrogenik), misalnya masyarakat tectona grandis, melaleuca spp, eucaliptus spp, banksia dentata, trimonius saricerus, borassus flabellifer, dan corypha utan.

2. Hutan Musim Tengah-Atas 

Hutan musim tengah-atas terdapat pada ketinggian 1000-4000 mdpl. Spesies pohon seperti cemara berdaun halus (casuarina junghuhniana) di Jawa Tengah dan Jawa Timur, eucaliptus di Indonesia bagian timur dan pinus merkussi di Sumatera Utara sekitar danau Toba dan Aceh. 

Hutan musim tengah atas, kurang nyata pembentukannya karena pengaruh iklim diperlambat oleh meningkatnya kelembaban. 

Didaerah monsun, pengaruh musim masih jelas diatas 1000 mdpl. Walaupun demikian ternyata komposisi hutan ini tidak berbeda banyak dengan hutan hujan pegunungan. 

Hutan musim tengah-atas mudah berubah jika mengalami kerusakan, biasanya akan berubah menjadi padang rumput atau savana didominasi spesies berdaun jarum (konifer), seperti casuarina junghuhniana, merupakan spesies yang tahan terhadap api. 

Umumnya spesies asli penghuni hutan ini memiliki kemampuan adaptasi terhadap faktor ekologi (amplitudo ekologis) yang sempit. Karena hutan ini mudah sekali berubah akibat gangguan (api dan anthropogenik) dan spesies asli akan didesak oleh spesies yang lebih tahan terhadap keadaan ekstrim. Spesies ekstrim tersebut mumunya rumput-rumputan dan tumbuhan berkayu.

B. Hutan Gambut

Gambut merupakan salah satu tipe vegetasi yang dipengaruhi oleh lapukan bahan organik. Kondisi anaerobik akibat penggenangan air merupakan refrigator alamiah, tempat tersimpannya fosil tumbuhan, seperti biji, benangsari yang merupakan kajian utama dalam paleoekologi

Vegetasi gambut ditemui didaerah cekungan, dibelakang daerah rawa. Dikenal tipe gambut yaitu ombrogen dan topogen

Gambut ombrogen terdapat didaerah cekungan, kedalaman mencapai 20 meter, miskin hara terutama kalsium, dan air drainase sangat masam. Tumbuhan hidup diatas serasah organik diatas tumbuhan itu sendiri, tidak ada mineral dari luar. Pembentukan dipengaruhi oleh curah hujan yang tinggi. 

Sementara gambut topogen keadaannya lebih baik, kedalaman gambut kurang dari 4 meter, air drainase agak masam, relatif lebih banyak mengandung hara akibat pengaruh turun dan naiknya genangan air dalam peristiwa oksidasi serasah pohon dan perubahan tingkat kematangan mineral yang terjadi. spesies tumbuhan yang dominan ditempat ini misalnya ramin (gonystylus bancanus) dan palawan (tristania sp). 

Hutan gambut mempunyai lapisan gambut, yaitu lapisan bahan organik yang tebal (> 1 meter), sedang dihutan rawa lapisan terdapat daerah bergambut, yaitu peralihan yang didalamnya terdapat elemen hutan rawa dan gambut. Hutan bergambut terdapat perbedaan tinggi tajuk, bersifat campuran tetapi tetap lebih miskin spesies dibandingkan dengan hutan hujan pohon dikotil. 

Tinggi pohon mencapai 30 meter, terutama dibagian pinggiran, sebab semakin ketengah gambut, keadaan lingkungan semakin ekstrim, dan pohon semakin pendek. Vegetasi terdapat dipusat gambut, dimana lapisan gambut dibagian dalam lebih 2 meter, seringkali berbentuk hutan cebol (dwarf forest atau krueppeholz). 

Flora hutan gambut meliputi tumbuhan spesies gulma, pandanus, podocarpus, dan wakil kebanyakan familia yang biasa ditemukan dihutan hujan tropis juga mencakup familia dipterocrpaceae

Banyak spesies yang khas bagi vegetasi gambut. Jumlah spesies anggota vegetasi gambut sangat terbatas, karena disebabkan oleh pH yang rendah (pH = 3.2), dilaporkan jumlah spesies hutan gambut di Sumatera sekitar 100 spesies. Hutan gambut mempunyai kecenderungan membentuk vegetasi hampir murni, menutup daerah yang sangat luas, misalnya gonysthylus boncalus dan g macrophyllus di hutan gambut Sakalanting (Kalimantan Barat), demikian juga dengan camnosperma macrophylla di Sumatra. 

Komposisi floristik berangsur-angsur berubah dari tepi keatas pusat gambut. Pada beberapa tempat, di Sumatra misalnya dijumpai zona tersebut, mulai dari pinggir kearah pusat gambut, tebal bahan organik hingga zona sebagai berikut : 

Hutan dengan tumbuhan bawah lebat, terutama jenis palem (licuala dan zallaca serta beberapa jenis rotan) Hutan lebat “High Forest” dengan pohon berbatang kecil bercampur pohon cebol. 

Hutan cebol didominir oleh tristania, dipusat gambut dimana lapisan gambut paling tebal adalah tristania obovata dan pleiarium alternifolium dominan, juga terdapat nepenthes ampullaria sebagai liana. 

Hutan gambut akan berubah menjadi daerah paku gleichenia sp apabila dikeringkan. Spesies asli akan hilang, demikian juga hutan gambut didaerah pasang surut digalian-galian yang menyebabkan air gambut tidak dapat mengalir keluar akan kita jumpai daerah kosong dari gambut akibat menurunnya pH tanah pada daerah tergenang. 

Air merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap komposisi floristik hutan gambut tersebut. Macaranga sp dan mallotus sp merupakan pionir daerah kebakaran. Apabila api tidak dicegah dan berulang kali terjadi, maka masyarakat senduduk (melastoma sp ) berkembang karena merupakan spesies yang sangat toleran terhadap daerah gambut tersebut. 


Sumber : BMP Ekologi Hutan Tropis

Comments

Popular posts from this blog

Hutan Rawa dan Hutan Mangrove

  A. Hutan Rawa Pada umumnya hutan rawa ditemukan disekitar danau atau sungai tenang yang terlindung, pada pinggiran air tergenang, dan dalam lekuk. Hutan dalam rawa gelagah demikian itu serupa dengan rawa iklim sedang dan biasanya terdiri dari tumbuhan monokotil tegak, seperti misalnya spesies gelagah ( Phragmites ), papirus ( Cyperus Papyrus ), ekor kucing ( Typha ). Akar tumbuhan ini terendam, sedangkan tunasnya berada jauh diatas permukaan air. Akar dan tunasnya yang terendam air mempunyai rongga udara untuk membantu pengudaraan. Vegetasi rawa menghuni habitat berair tawar, pH masam sampai sangat masam dan jarang terdapat pH sampai 6, kecuali pada saat kondisi setelah hujan. Permukaan air yang turun naik menyebabkan terjadinya pengeringan tanah secara periodik yang membantu proses perubahan kimia tanah atau mempercepat laju dekomposisi bahan organik.

Curah Hujan

Curah hujan dinyatakan sebagai tinggi air hujan yang jatuh ke permukaan tanah sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi, dan infiltrasi kedalam tanah. Curah hujan merupaka ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap dan tidak mengalir. Curah hujan 1 mm, artinya dalam luasan 1 meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi 1 mm atau tertampung air sebanyak 1 liter. Curah hujan kumulatif merupakan jumlah hujan yang terkumpul dalam rentang waktu kumulatif tersebut. Dalam periode musim, rentang waktunya adalah rata-rata panjang musim pada masing-masing daerah perkiraan musim.

Aliran Permukaan, Evaporasi dan Infiltrasi

Pada artikel sebelumnya, yaitu tentang curah hujan sempat di singgung tentang aliran permukaan, evaporasi dan infiltrasi. Ketiga hal tersebut akan selalu terjadi didalam suatu siklus hidrologi. Secara sederhana, aliran permukaan, evaporasi dan infiltrasi di artikan sebagai proses mengalirnya bagian dari curah hujan diatas permukaan tanah, proses penguapan dan penyerapan air kedalam tanah. Pengertian aliran permukaan, evaporasi dan infiltrasi adalah sebagai berikut : Aliran Permukaan Aliran permukaan merupakan bagian dari curah hujan yang mengalir diatas permukaan tanah menuju sungai, danau dan lautan (Asdak, 1995) . Menurut Arsyad (2010) , aliran permukaan adalah air yang mengalir diatas permukaan tanah dan mengangkut bagian-bagian tanah. Aliran permukaan terjadi apabila intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi tanah, dalam hal ini tanah telah jenuh air. Sifat aliran permukaan seperti jumlah atau volume, laju atau kecepatan, dan gejolak aliran permukaan menentukan k